Jumat, 27 April 2018

Pendekar "Ahlul" Wajar

Dulu simbah pernah 'ngendikan', "Ilmu puncak bagi seorang pendekar adalah bersikap wajar. Dan itu sangatlah sukar". Beliau memang bukan simbah 'biologis', namun perjalananku yang akhirnya membuatku menganggap beliau sebagai simbah. Mirip-mirip anggapan Bambang Ekalaya terhadap status 'guru' pada Resi Durna. Meski Mbah Durna-ku ini pasti menerima siapa saja yang mendatanginya, tidak pilih-pilih mana yang wangsa ksatria mana yang bukan.

Kewajaran dalam bersikap barangkali hal yang kurang dianggap bagi kebanyakan orang, pun bagiku. Karena hanya segelintir orang saja yang nampaknya punya kesadaran linuwih terhadap posisinya di segala sikon. Paham terhadap situasi di sekitarnya, juga peka pada kondisi orang-orangnya, bahkan bisa jadi sampai semua entitas non-manusia di sekitarnya :p.

Sejauh ini, 'wajar' yang kutangkap adalah output sikap seseorang terhadap segala situasi di sekelilingnya dengan didasari pemahaman atas dirinya sendiri di situasi tersebut. Tentunya hal ini memerlukan jam terbang yang sangat tidak sedikit. Memahami situasi sekitar sudah memerlukan pengalaman tertentu, sedang memahami diri sendiri adalah proses kontinu yang tidak bisa berhenti sampai habis jatah waktu. Sukar? Pasti!

'Wajar' sudah pasti bukan bersikap menyembunyikan 'kemampuan' yang dimiliki, namun tau kapan dan di mana mengaplikasikan kemampuannya itu. Barangkali bakal agak bias dengan bersikap normal. Karena normal cenderung bersifat "rata-rata", sementara seseorang sangat mungkin berada pada posisi dan situasi yang belum pernah ada yang mengalaminya, dan belum ada referensi 'statistik' atau studi psikologis tentang bagaimana sikap seseorang jika berada di posisi dan situasi seperti itu.

Barangkali yang bisa dijadikan bekal adalah pengalaman pribadi masing-masing. Sejauh ini sudah 'diperjalankan' ke mana saja. Ditempatkan di mana saja. Diperkenankan memegang amanah apa saja. Dipertemukan dan diperjumpakan dengan orang-orang dan peristiwa apa saja. Pelajaran-pelajaran dari sana, jika ditelateni, akan sangat berharga untuk dijadikan bekal untuk menempuh perjalanan berikutnya.

Melelahkan? Sepertinya iya! Karena melelahkan-nya itulah, kebanyakan orang enggan menginventarisir apa saja yang telah diperoleh selama perjalanannya yang telah lalu. Lebih mengasyikkan larut dalam situasi yang sedang dialami, apalagi dengan kendali atas nafsu dan keinginan pribadi yang sekenanya. Maka ketika dipertemukan dengan peristiwa yang serupa, 'kesalahan' yang sama seringkali terulang juga.

Konon ketika kita berjumpa dengan jenis situasi yang sama, maka sebenarnya kita belum benar-benar 'lulus' melaluinya. Remidi terus!

Dan ini sangat relevan jika ada yang membatin, "Ngejar wedokan, luput terus!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salah, hah? Mana?