Jumat, 24 April 2020

Salah, hah? Mana?

Menjalani hidup dengan mengabaikan masa lalu memang pilihan yang baik. Setidaknya menurutmu. Kalo dirasa ada kesalahan, tinggal bertobat. Toh, rahmatNya selalu mendahului murkaNya. Klo kebetulan bersinggungan dengan orang lain, ya kalau bisa minta kerelaan hati dan permaafannya. Klo ga bisa dan gengsi buat minta maaf, tinggal dido'akan saja si orang itu. Do'a yang baik-baik sebagai penebus kesalahan.
Jadi kalo si orang itu masih sering nongol sampai taraf mengganggu dan bisa dicatatkan dalam delik aduan pidana perbuatan tidak menyenangkan, padahal maksudnya ya menagih, "hei, kelakuanmu kemaren itu salah lho. Masak ga paham? Adab menolak bukan seperti itu! Itu namanya merendahkan! Ya meski perkara yg sebelum-sebelumnya memang aku punya andil salah juga sih. Sejujurnya bukan penolakanmu, tapi caramu menolak atas niat baikku kemaren sungguh keterlaluan dan di luar nalar! Ditolak saja sudah pasti kecewa, apalagi dengan cara seperti itu! Ini sengaja caper di depanmu minimal biar dapat basa-basimu buat menyebut kata maaf atas momen kemaren itu. Ya, biar ada alasan buat memberi maaf, sekalipun mintanya cuma basa-basi". Tinggal kau sampaikan saja kepada orang itu, "Anda sudah saya do'akan yang baik-baik. Jadi jangan ganggu saya lagi". Hingga orang itu pun cuman bisa bengong, "Dia salah, hah? Salah nya mana?". 

Di tengah kebengongannya, lamat-lamat terselip prasangka di pikirannya, "hoiya, hijrahnya mengantarkannnya pada cahaya. Manusia yang tercahayai, pasti selalu dalam naungan hidayahNya. Hidayah tidak mungkin salah. Sesalah apapun perangainya menurutku, pasti teranulir oleh hidayah yang digapainya. Bukankah Tuhan Maha Memberi Hidayah sekaligus Maha Menyesatkan siapa saja yang dikehendakiNya? Pasti dia yang mendapat hidayah dan sebrengsek apapun dia menurutku, pastilah dia selalu benar. Sementara aku pastilah pihak yang disesatkan, berhabitat di gelapnya palung kedholiman. Berbekal hujjah menggunung pun, wajib dianggap sebagai kesalahan."

Memang orang dholim sudah sepantasnya diperlakukan seperti itu. Berlaku brengsek kepada orang dholim adalah kebenaran haqiqi. Mengindahkannya adalah kesalahan fatal. Tidak layak meminta maaf pada pihak yang berlaku dholim. Maka "hidayah" yang sampai kepadamu untuk  mengabaikan orang itu adalah wahyu paripurna yang akan mengangkat maqammu sejajar wali-wali. Bukankah pendapat wali sekaliber Syaikh Ibnu Atha'illah Al-Iskandari pun sudah bisa kau koreksi? Itu menandakan kedudukanmu sudah di atas beliau, melebihi para wali di penjuru negeri ini.

Mau berlaku seperti apapun, yang namanya ahli hidayah selevel wali sepertimu, pasti memiliki esensi dan haqiqat kebenaran yang luput dari pandangan mata si dholim. Berrelasi dengan siapapun, memuaskan nafsu sebagaimanapun, pasti memiliki pembenarannya. Lha wong dituntun langsung oleh hidayahNya kok.

Biarkan saja si dholim itu terus bergumam, "Dia salah, hah? Mana...??". Meski di dalam hatinya selalu eksis endapan kesumat dendam, "Masak gak salah kok bisa menyisakan residu dendam seperti ini?". Maka si dholim pun cuman bisa berserah, sambil sesekali mengutuk, namun tetap dengan pamrih meminta: "Ya Robbi! yasudah, tidak perlulah Engkau menghidayahi dia untuk kembali mengindahkan hamba atau minimal menyebut kata maaf kepada hamba. Tapi mbok ya Paduka angkat rasa dendam ini. Karena nampaknya meski dengan dia menyebut kata maaf pun, tanpa perkenan dari Paduka, dendam ini sepertinya tetap membekas dan sukar terangkat. Dia dan kubunya pasti berlaku demikian sesuai dengan petunjukMu. Dan petunjukMu pastilah benar. Bagaimana mungkin hamba bisa dendam pada kebenaran? Kecuali Paduka memang menghendaki hamba menuntutnya di majelis hisab-Mu. Maka dengan perkenanMu pula, matikan hamba dengan tetap membawa dendam ini. Tapi Padukan kan Maha Rohman-Rahim, sejujurnya mbok ya dibikin saja dia mengindahkan hamba kembali. Dan entah gimana caranya yang terserah Paduka, yang Paduka skenariokan sendiri jalannya, keinginan terdalam hamba kepada dia mbok ya Paduka perkenankan. Paduka kan 'alaa kulli syai'in qadiir".

Agaknya si dholim semakin dalam palung kedholimannya. Bagaimana mungkin menuntut kebenaran di majelis hisab-Nya kelak? Dasar!

Maka, duhai wali agung yang dengan eksklusivitas cintaNya kepadamu sehingga kewalianmu disamarkanNya,  yang begitu digandrungi dan dicintai oleh si dholim, tetaplah berlaku abai dan cuek pada si dholim itu. Karena dengan begitu, kedholimannya akan bermuara kepadamu saja, tidak menjalar kepada yang lain. Biarkan sampai mati dia terus bergumam, "Dia salah, hah? Mana..??", Meski diam-diam dia terus meminta "allahummaj'alhaa khoirun lii, waqdurha lii, wayassirha lii, birahmatika yaa arhamarraahimiin". Namun dengan sedikit kesadaran kehambaannya dia menambahi "rabbii inni limaa anzalta ilayya min khoirin faqiir". Tapi tetap mem-fetakompli dengan "innamaa amruhuu idzaa arooda syai'an ayyaquula lahuu, kun fayakuun".

Begitulah kelakuan si dholim. Meminta pun tetap saja dholim. Abaikan terus sebagaimana yang dihidayahkan sekarang kepadamu. Sampai Dia berkenan menghidayahimu sebagaimana permintaan si dholim. Atau sekehendak Dia saja, menghidayahimu seperti apa. Toh si dholim mau berlaku sedholim apapun, tak akan pernah lepas dari rahmatNya. Nanti si dholim juga bakal paham sendiri, kondisi apapun yang dia terima, itu adalah wujud rahmatNya juga. Tapi untuk sekarang, level pembelajarannya masih pada taraf menggerutui rasa dendamnya sendiri dengan terus menggumam:

"Dia salah, hah? Mana..???"

Termasuk kalau sampai mati pun, si dholim tetap berlaku demikian. Maka biarkan saja. Itu ganjaran yang pantas buat dia yang dholim. Tenang saja kalau dituntut di majelis hisabNya. Toh sudah pasti engkau dibelaNya.
Wali sepertimu, berlaku sesuka-sukamu saja, karena itu sudah pasti mauNya juga. 

Dasar dholim! Sudah tau kalo dirinya dholim kok masih suka mengatur-atur Tuhannya! Barangkali dia tidak memiliki informasi yang cukup sehingga membuat pandangannya cupet dan berakibat dholim seperti itu. Tapi mau menggali informasi dari mana? Toh dia tidak memiliki akses untuk memperoleh informasi yang valid. Jadinya dholim dengan memprasangkai segala hal terkait dirimu, lantas semakin terjerumus kedholimannya, menyangka prasangkanya sebagai realita. Untungnya si dholim masih ditakdirkan untuk rajin berdo'a. Meski doanya penuh pamrih dan tendensius, semoga saja kelak ditakdirkan juga untuk beredo'a dengan kadar penghambaan yang lebih tinggi lagi kualitasnya.

Buat wali sekaliber dirimu, rahmatNya pasti terus mengalir, membanjiri seluruh dimensimu. Kelak, engkau pasti dipersilakan memasuki surgaNya.


Rabu, 23 Oktober 2019

Aku yang Maha Aku

Pada titik kesadaran tertentu, ada persepsi bahwa segala yang kita perbuat,  segala yang kita alami, semua kejadian yang menimpa kita, adalah kehendak Sang Maha. Pada kesadaran itu pula, sangat wajar muncul keyakinan bahwa segala keputusan kita, semata-mata hanyalah sebagian dari keputusanNya. Apapun resiko dari keputusan itu. Memang tidak bisa dibantah kebenaran pandangan ini. Yang jadi persoalan adalah: ketika terlalu teguh berprinsip demikian, namun abai dengan liyan, maka 'aku' akan menjelma Sang Maha Aku. Sangat rentan tergelincir untuk berlaku sekehendak 'aku' dengan dalih Sang Maha Aku memang berkehendak seperti itu. Namun ada hal yang agaknya kurang diperhatikan: Sang Maha Aku ternyata juga berlaku sama pada semua 'aku' yang berdiaspora di seantero semesta.
Maka dalih: "keputusanku ini semata-mata adalah kehendak Tuhan, maka terimalah!", akan beradu dengan argumen: "Hei, kehendak Tuhan juga ambil peranan sehingga aku melakukan ini!".
Ruwet?? Yaa memang!

Maka seperti Sang Maha Aku "bocorin" sendiri:

قُلۡ إِن ضَلَلۡتُ فَإِنَّمَاۤ أَضِلُّ عَلَىٰ نَفۡسِیۖ وَإِنِ ٱهۡتَدَیۡتُ فَبِمَا یُوحِیۤ إِلَیَّ رَبِّیۤۚ إِنَّهُۥ سَمِیعࣱ قَرِیبࣱ
[Saba':50]

Jumat, 13 September 2019

Tadabbur Ajal

*Sejak setaon lalu, pengen 'nggambleh' bab ini.. Tapi tiap kali posting, selalu gagal dan terhapus. Cb posting judulnya doank, apakah 'ajal' gagal postingnya udh nyampe?

Rabu, 16 Mei 2018

Puasa, pause

Bukankah musik bisa dinikmati ketika ada irama yang turut mendasari..? Sementara irama sendiri adalah manajemen 'jeda', supaya bunyi bisa memiliki 'pola'. Nada yang teruntai tanpa diselipi jeda bukankah sangat membosankan?
Bahkan bisa jadi ‘jeda’ adalah semesta musik itu sendiri. Dia kanvas yang menampung seluruh bunyi.

Pada konteks yang lain, bukankah munculnya kehidupan di bumi lantaran adanya 'jeda’ yang presisi antara dia dan matahari?
Adanya tatanan sosial dlm sejarah panjang peradaban manusia, bukankah tentang manajemen 'jeda’ dalam hubungan mu'ammalah mereka?

Maka mereka yang selamat, mereka yang hidupnya musikal, adalah mereka yang pandai dalam mengatur 'jeda’. Presisi menempatkan diri. Paham dalam mengelola batasan. Karena konon, puncak dari kebebasan adalah pemahaman atas batasan-batasan.

Barangkali di situlah puasa diperlukan.

Puasa, pause.

Senin, 07 Mei 2018

Neraka Surgawi

"Muridku, tahukah kamu kalau konon ada neraka tapi wujudnya surga?", tanya sang guru pada muridnya.

"Tidak, guru. Neraka apakah itu?", jawab si murid.

"Dia sama sekali bukan neraka secara wujud, tapi memang surga. Engkau diizinkan memasukinya. Tapi satu hal yang menyiksa, engkau sama sekali diabaikan oleh Pemiliknya.", pungkas sang guru.

Minggu, 06 Mei 2018

"Allahumma salak"

Seseorang sedang sangat mendambakan salak. Lantaran satu ketika dia tak sengaja melihat sebuah salak, di saat dia memang sedang mengalami lapar, dahaga, dan kerinduan yang amat dalam. Bukan kepada salak lapar, dahaga, lapar, dan rindunya tertuju, tapi dengan adanya salak, dia menyangka lapar, dahaga, dan rindunya bisa terbayarkan. Maka mulailah dia bertekad untuk bisa memiliki salak. Dia meyakin-yakinkan dirinya, bahwa memang salak-lah hal yang memang dia butuhkan. Dia berprasangka bahwa salak adalah jawaban atas pencariannya yang dikirimkan Tuhan. Maka dia pun terdoktrin oleh keyakinannya sendiri, mengimani persepsi hatinya sendiri, menganggap nyata prasangka yang dia tanam sendiri. Niatnya membulat, tekadnya membaja, salak adalah wujud paripurna atas jawaban yang selama ini dia minta.
Tak ayal, setiap saat dia membatin permohonan padaNya, biar salak segera bisa dimilikinya. Dalam setiap 'persapaan' denganNya, wirid dan do'a tak pernah surut dilantunkannya, "Allahumma salak, allahummma salak, allahumma salak....", begitu seterusnya. Hingga pada suatu ketika, diutusNyalah Jibril kepada orang itu, dan diperintahkanNya untuk membawa berbagai macam rizki dan fadhilah dariNya berupa Apel, Anggur, Pir, Durian, namun tidak ada Salak. Jibril patuh dan segera melaksanakan titahNya. Sesampai di dekat si orang pendamba salak, Jibril mulai ragu, benarkah semua rizki ini diperuntukkan bagi orang tersebut, lantaran Jibril mendengar lirih do'a yang selalu dipanjatkannya, "allahumma salak, allahumma salak, allahumma salak....". Maka pulang baliklah Jibril menghadap Tuhan. Sesampai di hadapanNya, Tuhan bertanya pada Jibril, "Kok kamu balik ke sini lagi, Jibril? Sudahkah kamu kasihkan rizkiKu pada hambaKu itu?" . Dengan kikuk Jibril menjawab,  "Maaf wahai Tuhanku, hamba tidak mendapati permintaannya ada di list rizkiMu yang hamba bawa atas perintahMu itu, Tuhan." Tuhan pun tersenyum, "Baiklah, tahan saja dulu. Hambaku itu menyangka dia tahu apa yang dia butuhkan, padahal Aku lah yang Maha Mengetahui."

*terinspirasi dari respon Mbah Nun atas pertanyaan salah satu Jama'ah Maiyah di suatu forum Maiyahan

Jumat, 04 Mei 2018

Ego"Tinggal Kelas"

Ketika dirimu menyukai, gandrung, mencintai sesuatu, sebenarnya yang menikmati rasa suka, gandrung, dan cintamu itu  obyek yang kau cintai ataukah dirimu sendiri? Jangan-jangan semua itu hanya bagian dari hasrat pemenuhan keinginanmu, ambisimu, ego pribadimu? Jangan-jangan semua itu sekedar hubungan transaksional belaka?  Lagi-lagi, dalam rangka pencapaian rasa puasmu terhadap segala hal yang kau sangka sebagai prestasi, keunggulan diri atas liyan, prestise dan pamor yang melonjak tinggi, minimal rasa puasmu terhadap pemenuhan 'ketenangan' batinmu sendiri.

Atau memang demikianlah adanya? 'Rasa' yang hadir itu memang bagian dari mekanisme 'normal' perjalanan hidup. "Kulit ari"nya memang untuk pemenuhan 'ego' pribadi. Secara hormonal, memang demikianlah proses yang alami. Dari perspektif evolusi, pola tingkah yang demikian memang hasil 'seleksi alam' yang paling sesuai.

Namun dalam perjalanannya, 'ego' itu bisa jadi mengalami perkembangan. Yang semula sebatas kesadaran atas diri pribadi, berkembang menjadi 'pribadi' yang lebih luas. Engkau dan pasanganmu, engkau dan keluargamu, tetangga-tetangga sekitarmu, komunitas, trah, golongan, kaum, bangsa, dan seterusnya. Meski seringkali untuk 'naik kelas' memiliki ego yang 'meluas' seperti itu sangat tidak mudah. Sampai ujung waktu pun, sangat mungkin masih berkutat di level 'pribadi' terendah.

Memang tidak bisa disalahkan ketika ada yang masih berkutat di situ-situ saja. Setiap orang memiliki kadar kendali atas egonya masing-masing. Benturan antar 'ego' sudah bukan perkara asing. Dan justru dari situlah drama maha kolosal kehidupan berjalan, dan acapkali bikin kita yang terlibat di dalamnya pusing.

Jadi, woles saja. Hidup memang demikian adanya. Kalau suatu ketika dihadirkan 'rasa' itu padamu, entah kepada apa atau siapa, nikmati saja. Perkara 'rasa' itu berujung pada pemenuhan 'ketenangan' batinmu, atau sebaliknya, malah bikin makin merana, maka pandai-pandai saja mengelola 'ego', ya!

" 'Aku' sayang 'kamu' ".

Salah, hah? Mana?