f.o.r.t.e.p.i.a.n.o.
Perjalanan bukanlah tentang apa yang kau cari, tapi apa yang kau temukan. Perjumpaan dan pertemuan di dalamnya adalah karena memang engkau diperjumpakan dan dipertemukan. Maka, apa saja yang telah kau dapat dari perjumpaan-perjumpaan dan pertemuan-pertemuan itu?
Jumat, 24 April 2020
Salah, hah? Mana?
Rabu, 23 Oktober 2019
Aku yang Maha Aku
Pada titik kesadaran tertentu, ada persepsi bahwa segala yang kita perbuat, segala yang kita alami, semua kejadian yang menimpa kita, adalah kehendak Sang Maha. Pada kesadaran itu pula, sangat wajar muncul keyakinan bahwa segala keputusan kita, semata-mata hanyalah sebagian dari keputusanNya. Apapun resiko dari keputusan itu. Memang tidak bisa dibantah kebenaran pandangan ini. Yang jadi persoalan adalah: ketika terlalu teguh berprinsip demikian, namun abai dengan liyan, maka 'aku' akan menjelma Sang Maha Aku. Sangat rentan tergelincir untuk berlaku sekehendak 'aku' dengan dalih Sang Maha Aku memang berkehendak seperti itu. Namun ada hal yang agaknya kurang diperhatikan: Sang Maha Aku ternyata juga berlaku sama pada semua 'aku' yang berdiaspora di seantero semesta.
Maka dalih: "keputusanku ini semata-mata adalah kehendak Tuhan, maka terimalah!", akan beradu dengan argumen: "Hei, kehendak Tuhan juga ambil peranan sehingga aku melakukan ini!".
Ruwet?? Yaa memang!
Maka seperti Sang Maha Aku "bocorin" sendiri:
قُلۡ إِن ضَلَلۡتُ فَإِنَّمَاۤ أَضِلُّ عَلَىٰ نَفۡسِیۖ وَإِنِ ٱهۡتَدَیۡتُ فَبِمَا یُوحِیۤ إِلَیَّ رَبِّیۤۚ إِنَّهُۥ سَمِیعࣱ قَرِیبࣱ
[Saba':50]
Jumat, 13 September 2019
Tadabbur Ajal
*Sejak setaon lalu, pengen 'nggambleh' bab ini.. Tapi tiap kali posting, selalu gagal dan terhapus. Cb posting judulnya doank, apakah 'ajal' gagal postingnya udh nyampe?
Rabu, 16 Mei 2018
Puasa, pause
Bukankah musik bisa dinikmati ketika ada irama yang turut mendasari..? Sementara irama sendiri adalah manajemen 'jeda', supaya bunyi bisa memiliki 'pola'. Nada yang teruntai tanpa diselipi jeda bukankah sangat membosankan?
Bahkan bisa jadi ‘jeda’ adalah semesta musik itu sendiri. Dia kanvas yang menampung seluruh bunyi.
Pada konteks yang lain, bukankah munculnya kehidupan di bumi lantaran adanya 'jeda’ yang presisi antara dia dan matahari?
Adanya tatanan sosial dlm sejarah panjang peradaban manusia, bukankah tentang manajemen 'jeda’ dalam hubungan mu'ammalah mereka?
Maka mereka yang selamat, mereka yang hidupnya musikal, adalah mereka yang pandai dalam mengatur 'jeda’. Presisi menempatkan diri. Paham dalam mengelola batasan. Karena konon, puncak dari kebebasan adalah pemahaman atas batasan-batasan.
Barangkali di situlah puasa diperlukan.
Puasa, pause.
Senin, 07 Mei 2018
Neraka Surgawi
"Muridku, tahukah kamu kalau konon ada neraka tapi wujudnya surga?", tanya sang guru pada muridnya.
"Tidak, guru. Neraka apakah itu?", jawab si murid.
"Dia sama sekali bukan neraka secara wujud, tapi memang surga. Engkau diizinkan memasukinya. Tapi satu hal yang menyiksa, engkau sama sekali diabaikan oleh Pemiliknya.", pungkas sang guru.
Minggu, 06 Mei 2018
"Allahumma salak"
Seseorang sedang sangat mendambakan salak. Lantaran satu ketika dia tak sengaja melihat sebuah salak, di saat dia memang sedang mengalami lapar, dahaga, dan kerinduan yang amat dalam. Bukan kepada salak lapar, dahaga, lapar, dan rindunya tertuju, tapi dengan adanya salak, dia menyangka lapar, dahaga, dan rindunya bisa terbayarkan. Maka mulailah dia bertekad untuk bisa memiliki salak. Dia meyakin-yakinkan dirinya, bahwa memang salak-lah hal yang memang dia butuhkan. Dia berprasangka bahwa salak adalah jawaban atas pencariannya yang dikirimkan Tuhan. Maka dia pun terdoktrin oleh keyakinannya sendiri, mengimani persepsi hatinya sendiri, menganggap nyata prasangka yang dia tanam sendiri. Niatnya membulat, tekadnya membaja, salak adalah wujud paripurna atas jawaban yang selama ini dia minta.
Tak ayal, setiap saat dia membatin permohonan padaNya, biar salak segera bisa dimilikinya. Dalam setiap 'persapaan' denganNya, wirid dan do'a tak pernah surut dilantunkannya, "Allahumma salak, allahummma salak, allahumma salak....", begitu seterusnya. Hingga pada suatu ketika, diutusNyalah Jibril kepada orang itu, dan diperintahkanNya untuk membawa berbagai macam rizki dan fadhilah dariNya berupa Apel, Anggur, Pir, Durian, namun tidak ada Salak. Jibril patuh dan segera melaksanakan titahNya. Sesampai di dekat si orang pendamba salak, Jibril mulai ragu, benarkah semua rizki ini diperuntukkan bagi orang tersebut, lantaran Jibril mendengar lirih do'a yang selalu dipanjatkannya, "allahumma salak, allahumma salak, allahumma salak....". Maka pulang baliklah Jibril menghadap Tuhan. Sesampai di hadapanNya, Tuhan bertanya pada Jibril, "Kok kamu balik ke sini lagi, Jibril? Sudahkah kamu kasihkan rizkiKu pada hambaKu itu?" . Dengan kikuk Jibril menjawab, "Maaf wahai Tuhanku, hamba tidak mendapati permintaannya ada di list rizkiMu yang hamba bawa atas perintahMu itu, Tuhan." Tuhan pun tersenyum, "Baiklah, tahan saja dulu. Hambaku itu menyangka dia tahu apa yang dia butuhkan, padahal Aku lah yang Maha Mengetahui."
*terinspirasi dari respon Mbah Nun atas pertanyaan salah satu Jama'ah Maiyah di suatu forum Maiyahan
Jumat, 04 Mei 2018
Ego"Tinggal Kelas"
Ketika dirimu menyukai, gandrung, mencintai sesuatu, sebenarnya yang menikmati rasa suka, gandrung, dan cintamu itu obyek yang kau cintai ataukah dirimu sendiri? Jangan-jangan semua itu hanya bagian dari hasrat pemenuhan keinginanmu, ambisimu, ego pribadimu? Jangan-jangan semua itu sekedar hubungan transaksional belaka? Lagi-lagi, dalam rangka pencapaian rasa puasmu terhadap segala hal yang kau sangka sebagai prestasi, keunggulan diri atas liyan, prestise dan pamor yang melonjak tinggi, minimal rasa puasmu terhadap pemenuhan 'ketenangan' batinmu sendiri.
Atau memang demikianlah adanya? 'Rasa' yang hadir itu memang bagian dari mekanisme 'normal' perjalanan hidup. "Kulit ari"nya memang untuk pemenuhan 'ego' pribadi. Secara hormonal, memang demikianlah proses yang alami. Dari perspektif evolusi, pola tingkah yang demikian memang hasil 'seleksi alam' yang paling sesuai.
Namun dalam perjalanannya, 'ego' itu bisa jadi mengalami perkembangan. Yang semula sebatas kesadaran atas diri pribadi, berkembang menjadi 'pribadi' yang lebih luas. Engkau dan pasanganmu, engkau dan keluargamu, tetangga-tetangga sekitarmu, komunitas, trah, golongan, kaum, bangsa, dan seterusnya. Meski seringkali untuk 'naik kelas' memiliki ego yang 'meluas' seperti itu sangat tidak mudah. Sampai ujung waktu pun, sangat mungkin masih berkutat di level 'pribadi' terendah.
Memang tidak bisa disalahkan ketika ada yang masih berkutat di situ-situ saja. Setiap orang memiliki kadar kendali atas egonya masing-masing. Benturan antar 'ego' sudah bukan perkara asing. Dan justru dari situlah drama maha kolosal kehidupan berjalan, dan acapkali bikin kita yang terlibat di dalamnya pusing.
Jadi, woles saja. Hidup memang demikian adanya. Kalau suatu ketika dihadirkan 'rasa' itu padamu, entah kepada apa atau siapa, nikmati saja. Perkara 'rasa' itu berujung pada pemenuhan 'ketenangan' batinmu, atau sebaliknya, malah bikin makin merana, maka pandai-pandai saja mengelola 'ego', ya!
" 'Aku' sayang 'kamu' ".
-
Ketika dirimu menyukai, gandrung, mencintai sesuatu, sebenarnya yang menikmati rasa suka, gandrung, dan cintamu itu obyek yang kau cintai a...
-
Seringkali terlintas di fikiranku, manusia itu benar-benar “nglamak”. Dikasih kesempatan meminta, yang keluar bukan lagi permintaan, tapi le...
-
Seseorang sedang sangat mendambakan salak. Lantaran satu ketika dia tak sengaja melihat sebuah salak, di saat dia memang sedang mengalami la...